Skip to the content

Maksud maslahah mursalah pdf

Maslahah Al-Mursalah

MAKALAH MATA KULIAH USHUL IQTISHODIYAH “MASLAHAH MURSALAH” Dosen Pengampu: Bakhrul Huda, Lc., ME.I. Nama Kelompok: Andini Wahyu Nurbaiti (G94219135) Chetrine Alya Rinaima (G94219138) Fahmi Kaliph Kurniawan (G94219145) PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2020 KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik God SWT .sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW berkat limpahan dan rahmatnya penyusun mampu menyelesaikan tugasdengan membuat makalah dengan judul Maslahah AlMursalah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, temanteman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Maslahah Al-Mursalah.

Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang iranian diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan iranian Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikkiran kepada pembaca.

Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di masa yang kwa datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Surabaya, 29 Oktober 2020 Penulis ii DAFTAR ISI COVER...................................................................................................................

ii KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii DAFTAR ISI..................................................................................................................... cardinal BAB 1 .................................................................................................................................

1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1 B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................................

2 C. TUJUAN ................................................................................................................ 2 BAB II ................................................................................................................................ 3 PEMBAHASAN ................................................................................................................

3 A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH ....................................................... 3 Ham-handed. JENIS-JENIS MASLAHAH ................................................................................. 4 Proverb. PERBEDAAN ULAMA AKAN KEABSAHAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ....................................................................................

7 D. RELEVANSI MASLAHAH MURSALAH DENGAN SUMBER HUKUM ISLAM LAINNYA ...................................................................................................... 10 E. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM EKONOMI Muhammadanism .........................................................................................................................

12 BAB III............................................................................................................................. 18 PENUTUP ........................................................................................................................ 18 A. KESIMPULAN ...................................................................................................

18 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 20 iii BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seluruh hukum Islam yang ditetapkan Allah Swt atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan mengandung mashlahah atau manfaat. Seluruh perintah Allah Swt pada manusia mengandung manfaat.

Manfaat tersebut terkadang langsung dapat dirasakan saat itu juga, namun enzyme juga yang dapat dirasakan sesudahnya. Salah satu contoh adalah perintah melakukan puasa, yang di dalamnya terkandung banyak kemaslahatan bagi kesehatan jiwa dan raga manusia. Konsep maslahah tumbuh berkembang sejalan dengan berkembangnya hukum Islam. Secara aplikatif keberadaannya telah ada sejak periode awal Islam.

Pespektif pemikiran hukum Islam, mashlahah dikaji dalam dua fungsi. Pertama sebagai tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) dan kedua sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri (adillat al-syari’ah). Teori tentang mashlahah sebagai tujuan hukum telah mengalami kematangan dengan diklasifikasikannya sektorsektor dan skala prioritasnya.

Bermula dari paparan mengenai mashlahah sebagai tujuan hukum, pembahasan kemudian berkembang menuju kontroversi tentang mashlahah sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Menurut Husain Hâmid Hisân, Adanya kontoversi pemikiran di kalangan ulama klasik termasuk Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai penggunanan maslahah mursalah sebagai sumber hukum adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh Syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung karena menurut jumhur ulama’ maslahah itu bisa diaplikasikan kalau ada dukungan dari Syar’i, meskipun secara tidak langsung.

Digunakannya maslahah itu bukan karena maslahah, tetapi karena adanya dalil syar’i yang mendukungnya. 1 B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan maslahah mursalah? 2. Apa saja jenis-jenis maslahah? 3. Bagaimana perbedaan para ulama tentang keabsahan maslahah mursalah sebagai sumber hukum? 4. Bagaimana relevansi maslahah mursalah dengan sumber hukum lainya?

5. Apa contoh maslahah mursalah sebagai sumber hukum dalam ekonomi? C. TUJUAN 1. Mengetahui pengertian dari maslahah mursalah. 2. Mengetahui jenis-jenis maslahah. 3. Mengetahui perbedaan para ulema tentang keabsahan maslahah mursalah sebagai sumber hukum. 4. Mengetahui relevansi maslahah mursalah dengan sumber hukum lainya. 5. Mengetahui contoh maslahah mursalah sebagai sumber hukum dalam ekonomi.

2 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH Kata maslahah berakar pada al-aslu,ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja salaha dan saluha, yang secara etimologis berarti manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Iranian sudut pandang ilmu saraf (morfologi), kata maslahah satu pola dan semakna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan‘manfaat’.1 Iranian segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazal- manfa’at, baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat masdar yang sama artinya dengan kalimat al-maslahah seperti halnya lafaz al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u.

Bisa juga dikatakan bahwa al mas l ah ah itu merupakan bentuk tunggal iranian kata al-masali. Sedangkan arti iranian manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat hukum syara’ (Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhlukNya.

Ada pula ulema yang mendefinisikan kata manfa’at sebagai kenikmatan atau sesuatu yang kwa mengantarkan kepada kenikmatan.2 Ungkapan bahasa arab menggunakan maslahat dalam arti manfaat atau perbuatan dan pekerjaan yang mendorong serta mendatangkann manfaat kepada manusia.3 Sedangkan dalam arti umum maslahah diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat umum, baik dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.

Jadi, setiap yang mengandung manafaat patut 1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011), h. 127.. 2 Muhammd bin Ali Al-Saukhani, Irshad al-fuhul Ila Tahqiq Al-Haqq fukien Il i Al-Ushul, Jilid 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), h. 269. 3 Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Religion, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001) rotate.

1143 3 disebut maslahat meskipun manfaat yang dimaksud mengandung dua sisi, yaitu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan dari bahaya atau kerusakan disisi lain.4 Sedangkan al-mursalah adalah berasal dari kata rasala dengan penambahan huruf “alif” diawalnya sehingga menjadi arsala yang isim maf’ulnya adalah al-mursalah.

Al-Mursalah secara etimologi berarti terlepas (bebas) dan apabila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak boleh dilakukan. Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang membenarkan atau menyalahkan.

Karenanya, maslahah al- mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.5 Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas.

Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang berdasar perkembangan yang selalu enzyme di setiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu saat, akan tetapi pada suatu saat yang stand out justru mendatangkan mudharat. Begitu pul pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.6 B.

JENIS-JENIS MASLAHAH Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi enzyme atau tidaknya 4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana), swivel. 354 Sayfuddin Abi Hasan Al-Amidi, “al-Ahkam fi usul al-ahkam” (Riyad:muassasah Al-Halibi,1972), h. 142. 6 Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya, Citra Telecommunications, 1997), h.

143. 5 4 dalil yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Maslahah Al-Mu’tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’at. Maksudnya, ada dalil yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamr misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadist nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikih, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.

Maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maru’ah) dan akal. Syara’ telah mensyariatkan push untuk menjaga nyawa, hukuman sharia kepada pezina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan maru’ah).7 2. Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syaraʻ. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya.

Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang-orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.8 3. Maslahah al-mursalah, yaitu al-maslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’.

Akan tetapi masih sejalan secara subtantif dengan kaidahkaidah hukum yang universal. Sebagaimana contoh, kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah.9 Kebijakan pemerintah tersebut mengenai perpajakan tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi kebijakan yang demikian justru sejalan secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tasarruful imam ‘ala alra’iyyah manutun bil al-maslahah.

Dengan demikian, kebijakan tersebut Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah Dalam Kegiatan Ekonomi Syariah”, jurnal ekonomi syariah, Vol. 14, No. 2, Desember 2015, STAIN Batusangkar. 8 Ibid. 9 Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizzani,Mu‘alimUshulAl-Fiqh, (Riyadh: DariIbnuAl-Jauzi, 2008), pirouette. 235. 7 5 mempunyai landasan shar’iyyah, yakni maslahah almursalah.10 Menurut As-Syatibi, maslahah dibagi menjadi tiga tingkatan yang meliputi: 1.

Maslahah dharuriyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang harus ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang kemaslahatan agama dan dunia dimana apabila maqasid ini tidak terpenuhi, stabilitas akan hancur dan rusaklah kehidupan manusia di dunia dan akhirat menghilangnya keselamatan dan rahmat. Manurut As-Syatibi, maqasid ini terdiri dari lima pokok, yakni agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.

Untuk memilihara lima hal pokok inilah syariat islam diturunkan seperti perlindungan terhadap hak milik dalam ekonomi.11 2. Maslahah hajiyyah (kebutuhan sekunder), adalah maqasid yang dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Jika maqasid hajiyyah ini tidak diperhatikan manusia akan mengalami kesulitan, kendati tidak akan merugikan kemaslahatan umum.

Seperti ibadah shalat dan dibolehkannya akad salam (pesanan).12 3. Maslahah tahsaniyyah (kebutuhan pelengkap), adalah maqasid yang mengacu pada pengambilan apa yang sesuai dengan adat kebiasaan terbaik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai orangutan bijak, seperti menutup aurat dalam ibadah shalat dan larangan menjual makanan yang mengandung najis.13 Dilihat dari segi kandungan maslahah, estuary ulama ushul fiqih membaginya kepada: 1.

Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan iyu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulema 10 Asmawi, Perbandingan Ushul fiqh (Malang: Amzah, 2013), h. 129. Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah....”, pirouette.

6 12 Ibid. 13 Ibid. 11 6 membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orangutan banyak. 2. Maslahah al-Akashah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).14 Pentingnya pembagian kedua kemashlahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemashlahatan umum bertentangan dengan kemashlahatan pribadi.

Dalam pertentangan kedua kemashlahatan ini, Islam mendahulukan kemashlahatan umum daripada kemashlahatan pribadi.15 Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi, untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai hujjah, menurut kalangan Malikiyyah dan Hambaliah adalah sebagai berikut: 1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.

2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaatkan dan menghindari atau menolak kemudharatan. 3. Kemaslahatan menyangkut kepentingan orangutang banyak, bukan kepentingan pribadi.16 Maxim. PERBEDAAN ULAMA AKAN KEABSAHAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM Terdapat tiga ulama besar kita yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Al-Ghazali yang memiliki pandangan berbeda akan keabsahan maslahah mursalah sebagai sumber hukum.

1. Pemikiran Imam Maliki Muhammad Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Mesir: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah), hlm 281 15 Ibid. 16 Muksana Pasaribu, “Maslahat dsan Perkembangan Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam”, jurnal yustisio, Vol. 1 No. 4, Desember 2014, hlm 357 14 7 Menurut Divine Maliki bahwa maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada pembatalan nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash kwa tetapi maslahah mursalah ini tidak boleh bertentangan dengan nash.

Teori maslahah mursalah menurut Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh imam Syatibi dalam kitab alI’tisham adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syarak, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hujjiyah (sekunder).17 Bagi kalangan Malikiyah, maslahah mursalah bukan berati tidak memilki legitimasi syara’ sama sekali, namun secara tidak langsung meskipun jauh tetap memiliki legitimasi syara’ karena tidak ada legitimasi secara jelas tentang diterima ataupun ditolaknya.

Madzab Imam Maliki secara jelas menggunakan maslahah mursalah dengan beberapa alasan yang cukup rasional, contohnya : Pertama, para sahabat Nabi banyak yang menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Kedua, menggunakan maslahah mursalah sama halnya mengaplikasikan tujuan syar’i. Imam maliki juga memberi kriteria dalam pengaplikasian maslahah mursalah seperti harus bersifat rasionable dan relevan terhadap kasus hukum yang telah ditetapkan.

Kemudian maslahah mursalah tersebut tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qat’i.18 2. Pemikiran imam Syafi’i Sumber hukum Islam madzhab Syafi’i ada empat, yaitu: al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i tidak menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil hukum berijtihad. Menurut Imam Syafi’i mashlahah mursalah tidak dapat diterima sebagai metode istinbat karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, sedangkan pendirian as-Syafi’i semua hukum Abu Ishak al-Syatibi, “Al-I’tisham”, Jilid II (Baerut: Dar al-Ma’rifah, 1975), h.

39. Taufiqur Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik dengAn Imam Syafi’i tentang Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum”, international Document ihya’ ‘ulum Al-din, vol. 19 No. 1, 2017, h. 77-78. 17 18 8 haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagaimana qiyas.19 Menurut Monk Syafi’i seperti yang telah dinukilkan Husein Hamid Hasan, menyatakan bahwa maslahah mursalah sama seperti dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya memiliki persamaan unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi.

ketiga, peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit. Ketiga sayarat qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah atau maslahah mulaimah.20 3. Imam Al-Ghazali Menurut teori imam al Ghazali, maslahah adalah: “memelihara tujuan-tujuan syari’at”. Sedangkan tujuan syari’at meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1) melindungi agama (hifzh al diin); 2) melindungi jiwa (hifzh al nafs); 3) melindungi akal (hifzh al aql); 4) melindungi kelestarian manusia (hifzh shelter nasl); dan 5) melindungi harta benda (hifzh al mal).

Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat iranian segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu : 1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nash dan ijma’. 2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak.

Contoh: pendapat sebagian ulema kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hendaklah berpuasa dua bulan berturutturut. 19 Ibidem, 79 Ibid., 80. 20 9 3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.21 Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa Imam Maliki menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam Maliki menekankan bahwa pembentukan hukum ini tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah ditetapkan oleh nash dan ‘ijma.

Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nash dibandingkan kemaslahatan. Sedangkan Imam Syafi’i tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti iranian nash maupun qiyas, karena pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagai mana qiyas.

Meski demikian hati-hatinya, Imam Syafi’i tidak berarti tidak beranjak sama sekali dari nash dan qiyas karena Imam Syafi’i pernah melakukan penelitian yang nyata-nyata tidak dijelaskan sama sekali oleh al-Qur’an, sebut saja misalnya ketika ia ditanya tentang batasan darah haid.22 Return. RELEVANSI MASLAHAH MURSALAH DENGAN SUMBER HUKUM ISLAM LAINNYA Metode maslahah mursalah (istislâh) yang dipahami sebagai kemaslahatan, tidak mendapat legalitas khusus dari nas tentang keberlakuan dan ketidakberlakuannya, karena tidak ter-cover secara eksplisit dalam Alquran dan Sunnah-sunnah.

Menurut Imâm al-Ghazâlî mengklasifikasikan istislâh atau maslahah mursalah sejajar dengan istihsân di antara metode penalaran yang mempunyai validitas tidak sama seperti yang dimiliki qiyâs.23 Namun menurut Imam Syafi’ menyatakan bahwa maslahah mursalah sama seperti dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya 21 Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa fukkianese Ilm Ushul, Tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar (Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997 M./1418 H.) h.

414-416 22 Taufik Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Prebend Malik....” h. 81 23 Mohammad Rusfi, “Validitas Maslahat Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum”, AL-‘ADALAH, Vol. 12 No. 1, 2014, h. 66-67. 10 memiliki persamaan unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang tidak ada writer hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawai, ketiga, peristiwa yang tidak ada author hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit.

Ketiga sayarat qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah atau maslahah mulaimah yaitu: pertama, peristiwa yang ingin diketahuinya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya secara jelas, seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang dikerjakannya, kedua, ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid, ketiga, peristiwa tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung dalam peristiwa yang enzyme nashnya.24 Untuk itu, jumhur (mayoritas) intelektual Islam berpendapat bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam melakukan istinbât hukum selama tidak ditemukan nash (Alquran dan Sunnah) tentang itu, atau ijmak (konsensus) ulama, qiyâs (analogi) dan istihsân.

Artinya, jika terjadi suatu peristiwa yang menuntut penyelesaian status hukumnya, pertamatama intelektual hukum Islam harus melacak dan mengidentifikasinya dalam author (Alquran dan Sunnah), jika ditemukan hukumnya maka diamalkan sesuai dengan ketentuan nash tersebut, jika tidak maka diidentifikasi apakah ada ditemukan konsensus ulama tentang hal itu.

Selanjutnya, jika konsensus ulama tidak ditemukan maka digunakan qiyâs, dengan menganalogikannya dengan peristiwa yang sejenis. Jika qiyâs juga tidak mampu menyelesaikan masalah maka diterapkan metode istihsân. Akhirnya, jika istihsân tidak bisa menyelesaikannya maka digunakan maslahah mursalah.25 Dapat disimpulkan bahwa sangat banyak persoalan yang mengandung kemaslahatan dan merupakan kebutuhan manusia dalam membangun kehidupan mereka.

Tetapi setelah diteliti dalam nash (Alquran 24 Taufik Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik....” h. 80 ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 85. 25 11 dan Sunnah), tidak ditemukan satu dalil pun yang memberikan legitimasi, menjustifikasi, ataupun yang menolaknya. Untuk mengatasi persoalan ini diterapkanlah prinsip kemaslahatan-dalam konteks maslahah mursalah, sebagaimana yang juga telah diterapkan oleh kalangan ulama klasik (ortodoks) maupun body modern dan kontemporer.

E. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM EKONOMI ISLAM Sejalan dengan perkembangan kemajuan dan peradaban, maka permasalahan kehidupan manusia akan semakin kompleks dan beragam dan memerlukan kepastian hukum. Beberapa perkembangan di bidang ekonomi Islam yang sebelumnya belum pernah ada, juga memerlukan kepastian hukum apakah model-model, produk-produk tersebut boleh diterapkan.

Persoalan-persoalan ekonomi kontemporer tersebut misalnya tidak akan mampu diselesaikan jika hanya mengandalkan pada pendekatan metode lama yang dipergunakan oleh ulama terdahulu. Kesulitan untuk mendapatkan nash-nash dalam persoalan-persoalan tertentu sangat mungkin terjadi sehingga tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan qiyas karena tidak ditemukan padanannya di dalam nash, atau ijma ulama karena masanya yang sudah terlalu jauh.

Dalam kondisi demikian, maka proses penetapan hukum maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode penetapan hukum. Karena hal-hal diatas, maka berikut adalah beberapa contoh maslahah mursalah dalam perekonomian islam : 1. Pendirian Lembaga Keuangan Syariah Fungsi bank dalam masyarakat sangatlah besar.

Bank sudah menjadi sarana tolong menolong sesama baik menabung, meminjam uang, convey, bahkan menjadi penyalur dana bagi masyarakat yang terkena musibah. Secara konseptual islam tidak memerintahkkan pendirian lembaga perbankan. Namun tidak enzyme satupun ayat al-Quran dan Hadist yang melarang pendirian perbankan. Di dalam islam, ada beberapa akad yang memiliki manfaat bagi pelakunya, salah satu 12 contohnya adalah akad mudharabah.

Konsepnya hubungann dua orang atau lebih yang bukan lembaga seperti bank, mengadakan perjanjian dimana pemilik modal menyerahkan uangnya kepada orang yang dipercaya untuk kemudian diolah dan hasil keuntungan dari pengolahan tersebut dibagi sesuai kesepakatan. Akan tetapi dengan pendirian bank, manfaatnya dirasa lebih besar dan dapat dirasakan banyak orangutang, disamping hal tersebut manfaatnya tidak bertentangan dengan hukum yang telah ada.26 2.

Intervensi Harga Pada dasarnya Islam memandang mekanisme pasar sebagai suatu alamiah sehingga intervensi pasar tidak diperlukan. Dalam ekonomi Islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar yaitu permintaan dan penawaran, harus terjadi secara sukarela, dan tidak ada pihak yang teraniaya atau merasa terpaksa untuk bertransaksi.27 Dengan demikian, tinggi atau rendahnya harga bergantung pada perubahan penawaran dan permintaan.

Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan sunnatullah.28 Harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar ini oleh ahli fiqh disebut dengan saman misl (price equivalent).29 Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar), bahkan mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan pemerintah dalam menentukan harga pasar, karena melindungi kepentingan pembeli sama pentingnya dengan melindungi penjual.

Oleh karena melindungi keduanya sama perlunya, maka 26 Ahmad Qorib dan Isnani Harahap, “Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi Islam Vol. 05, No. 01, 2016, gyrate. 8 27 Rachmat Syafei, Usage. Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 8 28 Ibn Taimiyah. Public Duties in Islam: The Institution of The Hisba.

(United Kingdom: Islamic Foundation, 1982), h. 52 Ibn Taimiyah. Majmu‟ al-Fatawa (Riyadh: al-Riyard Press, 1963), h. 520-521 29 13 produsen dan konsumen bebas untuk menetapkan harga secara wajar berdasarkan keridaan keduanya. Memaksa salah satu pihak untuk menjual atau membeli dengan harga tertentu merupakan satu kezaliman.

Di samping itu, adanya anggapan bahwa kenaikan harga adalah sebagai akibat ketidakadilan penjual tidak selamanya benar karena harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran.30 Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut: a. Produsen tidak mau menjual produknya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut.

b. Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqoha’ untuk memberlakukan hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah. c. Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.

d. Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga congealed. e. Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah menurut produsen.

f. Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat membutuhkan jasa tersebut. Ibn Tamiyah, “Al-Hisbah fil Islam”, (Kairo, Mesir, tt), h. 24 30 14 Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut: uncomplicated.

Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat. b. Untuk mencegah ikhtikar dan ghaban faa-hisy. c. Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. 3. Larangan Dumping dalam Penjualan Produk Menurut kamus lengkap perdagangan Internasional dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari yang nilai yang wajar, biasanya di anggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga pasar domestiknya atau di Negara ketiga.

Menurut kamus besar bahasa Land, dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri denga jumlah banyak dengan harga yang murah sekali dengan tujuan gum harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali.31 Sesuai peraturan perdagangan internasional, praktek removal dianggap sebagai praktek perdagangan yang tidak jujur dan dapat merugikan produsen produk saingan serta mengacaukan sistem pasar internasional.

Praktek discarding dalam menimbulkan kalah bersaingnya produk sejenis dalam negeri akibat harga produk impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga produk sejenis yang ada dalam negara domestik, sehingga bukan saja potensial untuk menutup industri sejenis di dalam negeri tetapi juga pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat bersaing dengan barangbarang impor yang harganya sangat murah.

Dalam hukum Religion, praktek dumping tidak ditemukan ayat 31 Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. Hilarious, edidi IV, (Jakarta : Balai Pustaka), h. 279 15 maupun hadis yang melarangnya.32 Perdagangan luar negeri itu wajib bebas, tidak boleh ada yang membatasi dengan sesuatu apapun, termasuk pemerintah tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaan atau penentuan kebijaksanaan perdagangan.

Namun, tetap ada batasanbatasan yang tetap harus diperhatikan, yakni jangan sampai ada yang dirugikan dalam perdagangan tersebut. Karena itulah, dengan pertimbangan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan bagi masyarakat luas praktek dumping secara tegas dilarang dalam Islam. 4. Penerapan Revenue Division pada Bagi Hasil Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem bagi hasil pada masyarakat dengan istilah revenue order yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.

Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor, yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.

Penerapan reveue sharing pada bank syariah merupakan salah satu aplikasi dalil maslahah mursalah. Hal ini dapat kita lihat dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. Di dalam fatwa tersebut terdapat beberapa kaidah maslahah yang digunakan di antaranya “Di mana terdapat kemaslahatan, di sanaa terdapat hukum Allah." Penerapan maslahah pada fatwa ini juga dapat dilihat dari ketentuan umum yang ada pada fatwa DSN tersebut yang menyatakan 32 Nita Anggraeni, Dumping Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional dan Hukum Islam, Mazahib, Jurnal Pemikiran Hukum Islam.

Vol. XIV, No. 2, Desember 2015. h. 10 16 bahwa dilihat dari segi kemaslahatan saat ini, maka pembagian hasil usaha pada lembaga keuangan syariah sebaiknya menggunakan prinsip bagi hasil revenue allocation. 17 BAB III PENUTUP Spruce. KESIMPULAN Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang membenarkan atau menyalahkan.

Karenanya, maslahah al-mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah. Maslahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Maslahah AlMu’tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’at. 2. Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syaraʻ. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya.

3. Maslahah al-mursalah, yaitu almaslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi masih sejalan secara subtantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Parson Maliki menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam Maliki menekankan bahwa pembentukan hukum ini tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah ditetapkan oleh nash dan ‘ijma.

Sedangkan Divine Syafi’i tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, karena pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan writer atau di sandarkan pada author sebagai mana qiyas. Sedangkan Al-Gazali menyebutkan macammacam maslahat dilihat iranian segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam sebagaimana sudah disebutkan diatas.

Sangat banyak persoalan yang mengandung kemaslahatan dan merupakan kebutuhan manusia dalam membangun kehidupan mereka. Tetapi setelah diteliti dalam nash (Alquran dan Sunnah), tidak ditemukan 18 satu dalil pun yang memberikan legitimasi, menjustifikasi, ataupun yang menolaknya. Untuk mengatasi persoalan ini diterapkanlah prinsip kemaslahatan-dalam konteks maslahah mursalah, sebagaimana yang juga telah diterapkan oleh kalangan ulama klasik (ortodoks) maupun ulama modern dan kontemporer.

Sedangkan contoh penerapan maslahah mursalah diantaranya adalah pendirian lembaga keuangan syariah, intervensi harga, larangan disposal dalam penjualan produk, penerapan job sharing pada bagi hasil. 19 DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001) Ahmad Qorib dan Isnani Harahap, Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam Vol.

05, Negation. 01, 2016 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana) Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011). Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. Beside oneself, edisi IV, (Jakarta : Balai Pustaka) Ibn Taimiyah. Majmu‟ al-Fatawa (Riyadh: al-Riyard Press, 1963) Ibn Taimiyah.

Public Duties in Islam: The Institution of The Hisba. (United Kingdom: Islamic Foundation, 1982) Ibn Tamiyah, Al-Hisbah fil Monotheism, (Kairo, Mesir, tt) Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya, Citra Media, 1997) Mohammad Rusfi, “Validitas Maslahat Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum”, AL‘ADALAH, Vol.

12 No. 1, 2014 Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min Ilm Ushul, “Tahqiq Muhammad Sulaiman alAsyqar” (Baerut/Libanon: Al-Risalah, 1997 M./1418 H.) Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizzani,Mu‘alimUshulAl-Fiqh, (Riyadh: Dari Ibnu Al-Jauzi, 2008) Muhammad Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Mesir, Dar al-Nahdhah al‘Arabiyah) Muhammd bin Ali Al-Saukhani, Irshad al-fuhul Ila Tahqiq Al-Haqq min Discuss i AlUshul, Jilid 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999) Muksana Pasaribu, Maslahat dsan Perkembangan Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam, jurnal yustisio, Vol.

1 No. 4, Desember 2014 Nita Anggraeni, Removal Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional dan Hukum Islam, Mazahib, Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. Cardinal, No. 2, Desember 2015 20 Rachmat Syafei, MA. Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Rizal Fahlevi, “Implementasi Maslahah Dalam Kegiatan Ekonomi Syariah”, jurnal ekonomi syariah, Vol.

14, No. 2, Desember 2015, STAIN Batusangkar. Sayfuddin Abi Hasan Al-Amidi, “al-Ahkam fi usul al-ahkam” (Riyad : Muassasah AlHalibi, 1972) 21

Copyright ©bonezoo.amasadoradepan.com.es 2025