Skip to the content

Kekuatan militer era suharto biography

Militer sebagai Kekuatan Utama Politik Soeharto

Militer sebagai Kekuatan Utama Politik Soeharto♣ Oleh Junaidi Simun Peneliti IMPARSIAL, the Indonesia Human Rights Direction Pendahuluan Sejarah Indonesia era Multitude Baru telah membuktikan bahwa kekuatan dominasi militer dengan dwifungsinya telah membawa militer Indonesia tidak saja berperan dalam kompetensi dasarnya saja, namun menjadi kekuatan yang juga berhak menafsirkan dan turut campur menentukan hal lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tak complaint, peran ini menimbulkan ekses negatif dalam perjalanan sejarah itu sendiri, hingga sekarang. Memasuki era reformasi, tuntutan masyarakat semakin luas gum militer Indonesia menanggalkan ideologi tersebut, dan menarik diri dari pentas politik nasional. Situasi politik ini menyebabkan pimpinan TNI, pada 12 April 2000, menegaskan bahwa tugas pokok TNI sudah berubah secara signifikan, tidak lagi mengemban tugas sosial politik, dan tidak juga mengemban tanggungjawab bidang keamanan yang [kini] sepenuhnya menjadi tanggungjawab polisi.

Beberapa hari berikutnya, 20 Apr 2000, Panglima TNI Laksamana Widodo Adisubroto secara resmi mengumumkan penghapusan peran sosial politik TNI yang juga dikenal dengan konsep dwifungsinya.1 Dengan keputusan ini, maka berakhirlah riwayat doktrin dwifungsi yang pada awal sejarahnya diterima secara luas dan dengan penuh harapan, namun pada penghujung hidupnya dikutuk dan dihujat sebagai salah satu sumber malapetaka.

Karenanya, tulisan singkat ini membatasi diri untuk hanya membahas bagaimana proses kelahiran, perkembangan dan implementasi ideologi dan doktrin ABRI era Orde Baru sehingga menjadi kekuatan utama politik Soeharto, dan menjadi legitimasi konstitusional bagi militer untuk melibatkan dirinya dalam wilayah sosial politik, dan kenegaraan. Proses Kelahiran dan Dasar Hukum Doktrin Dwifungsi2 ABRI Dalam pembahasan umum mengenai doktrin, ia lebih diartikan sebagai ajaran atau asas atau pendirian suatu golongan secara bersistem, khususnya dalam penyusunan kebijakan negara.3 Doktrin militer lebih merupakan pokok pemikiran militer yang bersifat menerangkan dan menjelaskan, yang sangat mempengaruhi watak dan karakter pandangan militer dalam melakukan tindakannya.

Doktrin militer juga dapat mempengaruhi kontrol sipil dan peran pemerintahan sipil melalui kebijakan dan struktur organisasi militer. Doktrin militer Indonesia meliputi berbagai macam penjelasan dan keterangan tentang pokok-pokok pemikiran TNI yang memuat segmentasi arahan pada spesifikasi wilayah tertentu. Ada doktrin kekaryaan, doktrin tempur, doktrin peran sosial politik ABRI, doktrin TNI dan doktrin angkatan.

Deskripsi doktrin militer dalam pembahasan ini secara khusus lebih diarahkan pada pemaparan doktrin peran sosial politik dan kekaryaan ABRI era Soeharto. ♣ Tulisan dipersiapkan untuk ‘Koran INFID’, edisi Khusus Maret 2008. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Keterangan Pers Panglima TNI setelah Penutupan Rapat Pimpinan TNI Tahun 2000, Jakarta, 20 April 2000.

2 Dwifungsi diartikan sebagai dua fungsi militer Country, fungsi pertahanan dan fungsi sosial politik. Menurut A.H Nasution, nama ’dwifungsi’ lahir secara spontan dalam suatu ceramahnya pada rapat pimpinan Kepolisian di Kota Porong, Jawa Timur, pada masa awal Demokrasi Terpimpin. Lihat Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000, (Jakarta: Aksara Karunia, 2002), Cet.

Irrational, hal. 1-2, khususnya footnote pollex all thumbs butte. 3. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Cet. I Edisi III, bejewel. 272. 1 1 Konsepsi mengenai fungsi sosial politik ini dapat ditemukan dalam ucapan-ucapan tokoh-tokoh militer Indonesia di masa sebelum Crush Baru.4 Namun cikal bakal dwifungsi ABRI berasal dari konsepsi “djalan tengah” yang dikemukakan A.H Nasution ketika berpidato dalam Dies Natalies Akademi Militer Nasional (AMN) Nov 1958: ”Jang paling baik buat TNI dalam perkembangan negara sekarang ialah menempuh djalan tengah seperti jang sekarang ini telah mulai dilaksanakan sebagai garis kebidjaksanaan, baik oleh panglima tertinggi, pemerintah, maupun pimpinan angkatan perang.

Jaitu membuka kesempatan yang luas bagi tokoh2 militer sebagai perseorangan, untuk turut serta setjara aktip mejumbangkan tenaganja di luar bidang militer, jaitu turut serta menentukan kebidjaksanaan negara pada tingkat2 jang tertinggi seperti dalam bidang finansil-ekonomi, dll”.5 Walaupun sebenarnya sebelum pidato tersebut diutarakan Nasution, sejumlah perwira militer sudah menduduki jabatan-jabatan sipil, termasuk tiga orang sebagai menteri dalam Kabinet Karya yang dibentuk Soekarno 9 April 1957.6 Dapat disimpulkan bahwa pidato ”djalan tengah” Nasution di atas lebih merupakan pembenaran bagi telah terlibatnya tentara dalam urusan-urusan sipil.

Seiring bergantinya kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto tanpa kudeta berdarah7 dengan cara mengkonsolidasikan perwiranya untuk memulihkan ketertiban pasca G30S, konsepsi ”djalan tengah” Nasution mengalami pergeseran makna, di mana gagasan yang semula dilandasi “keterlibatan perseorangan” anggota TNI dalam pemerintahan, di kemudian hari meluas menjadi paham dan lebih menekankan “keterlibatan institusi/organisasi” pada setiap bidang kenegaraan, baik sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.

Padahal definisi ”djalan tengah” menurut Nasution adalah: ”Djalan tengah itu ialah memberikan tjukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tapi sebagai perseorangan2 jang menjadi exponen daripada organisasi kita ...”. Bersamaan dengan itu, berubahnya makna konsep ”djalan tengah” Nasution menjadi dwifungsi seiring dengan perubahan waktu, dinamika dan fragmentasi politik yang terbelah, yang membuat sistem politik Indonesia selama 1959-1966 kian bertumpu pada tiga kutub: Soekarno sebagai tokoh kharismatik yang diakui sebagai lambang persatuan nasional; TNI AD sebagai kelembagaan yang terpadu melalui disiplin militer; dan Partai Komunis Indoensia (PKI) sebagai satu-satunya partai politik yang memiliki dukungan massa yang berdisiplin relatif tinggi.

Politik segitiga “Soekarno-TNI-PKI” inilah yang kian mewarnai perhitungan dan persaingan nyata antara TNI dan PKI menjelang tahun-tahun kritis 1963-1965. Akibat lainnya adalah ketidakmampunan politisi sipil menghasilkan kestabilan politik, adanya konflik politik yang hebat antara partai-partai politik, terjadinya pemberontakan daerah, dan gagalnya Konstituante menghasilkan citra politisi sipil yang kurang baik.8 Konsepsi “djalan tengah” Nasution kemudian dipertegas lagi dengan doktrin perjuangan TNI AD “Tri Ubaya Cakti” yang merupakan hasil seminar Angkatan Darat I, 2-9 April 1965, yang disempurnakan lagi dalam seminar Angkatan Darat II di Bandung, 25-30 Agusustus 4 Nugroho Notosusanto (Ed.), Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Pusata Sinar Harapan, 1991), Cet.

Tierce, hal. 168-170. 5 Salim Articulated, Op. Cit., hal. 20. Mereka adalah Kolonel Pelaut Muhamad Nazir (Menteri Pelayaran), Kolonel Infantri dr. Azis Saleh (Menteri Kesehatan), dan Kolonel Infantri Suprayogi (Menteri Urusan Distribusi). 7 Kudeta tak berdarah ini dikenal dengan Super Semar, singkatan dari “Surat Perintah Sebelas Maret”. “Semar” adalah satu tokoh wayang yang dipandang paling sakti sekalipun hanya seorang Punakawan yang penampilannya menggelikan.

Ia adalah dewa dari semangat Jawa. Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat, Judul Asli: Military Professionalism take Indonesia: Javanese and Western Lore in the Army Ideology happening the 1970’s, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996). 8 Maswadi Rauf, “Latar Belakang Peran Sosial Politik ABRI”, dalam Indria Samego, dkk., Peran Sospol ABRI: Masalah dan Prospeknya, (Jakarta: PPW-LIPI, 1997), settle down.

43-48. 6 2 1966.9 Doktrin ini antara lain menyebutkan bahwa “TNI tidaklah hanya identik dengan ABRI saja, melainkan mencakup seluruh rakyat Indonesia yang berjuang atau bersedia berjuang di medan perjuangan bersenjata bersama-sama dengan ABRI, atas landasan…”. Melalui doktrin Tri Ubaya Cakti itulah untuk pertama kalinya dirumuskan dwifungsi ABRI.

Selanjutnya, untuk meningkatkan bobot dwifungsi diperkenalkan Catur Dharma Eka Karma (Cadek), 1967. Penegasan konsepsi dan doktrin dwifungsi ABRI juga merambah wilayah hukum di level negara. Dasar hukum pengaturannya dalam undang-undang telah dimulai di era sebelumnya yang menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional, yaitu, UU No. 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No.

80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Dengan peraturan itu untuk pertama kalinya ABRI diakui sebagai golongan fungsional dan wakil-wakilnya duduk sebagai anggota dalam Dewan Nasional, Dewan Perancang Nasional, DPRGR dan MPRS tahun 1960.10 Memasuki Orde Baru, perundangan yang mengatur dwifungsi ABRI dimulai dengan Ketetapan MPRS No.

XXIV/MPRS/1966, disusul UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu, dan UU Thumb. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, yang antara lain mengatakan bahwa ”Mengingat dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUD 1945 yang kuat dan sentosa”.

Kemudian Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengukuhkan dwifungsi ABRI: ”Modal dasar pembangunan nasional yang dimiliki oleh rakyat dan bangsa Indonesia adalah: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara”.11 Legitimasi politik dan dasar hukum dwifungsi ABRI kemudian kembali diperkuat secara tegas melalui kebijakan UU No.

20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Pasal 26 undang-undang ini menyatakan bahwa ”Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.”; dan Pasal 28 ayat (1) bahwa ”Angkatan bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia; dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan (ayat 2).

Kemudian dalam UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI, konsepsi dwifungsi ABRI juga ditegaskan dalam Pasal 6, bahwa ”prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban dwifungsi Angakatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik”. Berdasarkan beberapa ketentuan perundangan di atas, kedudukan dwifungsi ABRI semakin lengkap dan bertambah kuat, dan menjadi legitimasi kuat militer Indonesia era Mass Baru untuk menempatkan prajuritnya dalam ranah sosial dan politik.

Meskipun di era reformasi kebijakan tersebut diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Land. Wujud Implementasi Doktrin Dwifungsi ABRI Sejak berlakunya sistem Demokrasi Pancasila di era Orde Baru, “djalan tengah” yang digagas Nasution mengalami grafik peningkatan keterlibatan perwira militer yang cukup tajam 9 Indria Samego, dkk, Bila ABRI Menghendaki, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), collect yourself.

95. Soebijono, dkk., Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), Delegate. VII, hal. 120. 11 Ibid. Periksa juga Nugroho Notosusanto, Buckle. Cit., hal. 150 dan 224. 10 3 dalam wilayah sosial dan politik. Peningkatan tersebut tidak lepas dari intervensi Soeharto dalam mengatur militer untuk berada pada posisi-posisi strategis pemerintahan.

Implementasi konsepsi dwifungsi ABRI masa Orde Baru bisa dilacak dalam doktrin operasional sosial politik dan kekaryaan yang diterbitkan departemen pertahanan keamanan tahun 1975, dan dalam UU Pollex all thumbs butte. 2 Tahun 1982 tentang Prajurit ABRI yang memuat rumusan sumpah prajurit. Rumusan ini lebih sesuai dengan Saptamarga. Dari rumusan itu kemudian lahir konsepsi mengenai fungsi sosial politik ABRI, pertama, ABRI sebagai pejuang dan sekaligus prajurit; kedua, ABRI sebagai faktor integrasi (kemanunggalan ABRI dengan rakyat); dan ketiga, ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator.

Sementara dalam tugas kekaryaan, asas-asas pembinaannya melalui beberapa tahapan, pertama, adalah pembinaan tanpa organisasi; kedua, membuat badan pembinaan di angkatan; ketiga, adalah koordinasi oleh departemen pertahanan keamanan; dan tahap keempat terpusat di departemen pertahanan keamanan dan terpisah dari organisasi ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan.

Sejak 1974, struktur organisasi kekaryaan ABRI mengalami perubahan, melalui Keppres No. 7 Tahun 1974 tentang Penyempurnaan Keppres No. 70 Tahun 1960. Sebagai pelaksanaannya Menhankam/Pangab mengeluarkan Kep/42/XI/1975 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Badan Pembinaan Kekaryaan ABRI (Babinkar ABRI), dan Kep/09/III/1976 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Dewan Kekaryaan ABRI (Wankar ABRI).12 Peran ABRI melalui dwifungsi dengan beberapa aturan di atas selaras dengan faktor penyebab militer berperan di bidang sosial politik, seperti dianalisis dalam tesis Sundhaussen.13 Maka tidaklah heran kalau jabatan eksekutif (gubernur, bupati, duta besar, menteri, dan jabatan-jabatan puncak di departemen), dan legislatif banyak diisi perwira ABRI.

Sementara tu, peran sipil hanya diposisikan sebagai pendukung. Dasar pemikiran kekaryaan adalah untuk memberikan peluang bagi personel ABRI aktif untuk menduduki jabatan sipil, tapi dengan syarat apabila mereka dibutuhkan atau diminta oleh pihak nonmiliter dan mendapat persetujuan dari pimpinan ABRI. Semuanya memang dilakukan menurut mekanisme yang berlaku pada setiap jabatan.

Namun, menduduki suatu jabatan penting bukan otomatis pengambil keputusan. Sebab, mereka masih harus selalu berkoordinasi dengan pimpinan ABRI. Maka, bukan sesuatu yang aneh ketika soal perizinan, kontrak bisnis, dan keputusan tender pun harus melalui jalur birokrasi di tubuh ABRI.14 Jumlah personel ABRI yang terjun dalam tugas kekaryaan mengalami pasang surut.

Di wilayah eksekutif, pada tahun 1968, 34 % jabatan menteri dan setingkat menteri dipegang oleh ABRI. Persentase ini menyusut tahun 1995, yang tinggal menyisakan 24 %. Untuk jabatan gubernur, pada awal Orde Baru 70 Categorically dijabat oleh militer, sedangkan tahun 1995 masih menyisakan 40 Begitu pula dengan jabatan duta besar, tahun 1968 sekitar 44 % diisi oleh tentara, dan 27 tahun kemudian (1995) tinggal 17 %.

Demikian juga perannya di lembaga legislatif. Tahun 1960, 12 % dari 283 anggota DPR GR berasal dari lingkungan militer. Meski demikian, tahun 1967 jumlah anggota ABRI di legislatif mencapai 43 orang. Setahun kemudian jumlah anggota militer di parlemen mencapai 75 orang. Melalui UU No. 2 Tahun 1985, komposisi anggota ABRI di DPR menjadi 100 orang hingga Soeharto lengser keprabon.

Sebagai penopang utama kekuatan politik Soeharto, kegiatan militer Land pun merambah wilayah ekonomi. Keterlibatan ini bisa dibagi ke dalam empat kategori, yakni: (1) koperasi dan yayasan, dengan titik berat untuk kesejahteraan prajurit; (2) assembly bisnis; (3) bisnis 12 Nugroho Notosusanto, Op. Cit., hal. 273-310. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Country 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI, Judul Asli: Road to Power: Land Military Politics 1945-1967, Penerjemah: Hasan Basari, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1988).

14 Kompas, “Baik-baik dengan Rakyat dalam Demokrasi”, 16 Agustus 2004. 13 4 yang dijalankan oleh lembaga-lembaga nirlaba; dan (4) “pengaruh dan kemudahan”.15 Dalam prakteknya, tidak satu pun dari keempat jenis keterlibatan militer dalam bisnis tidak berdampak negatif bagi perekonomian Country karena menerapkan praktek perburuan annuity (rent seeking) yang sudah menggejala umum.

Dilihat dari aspek makro ekonomi Indonesia, lingkup keterlibatan militer dalam bisnis di era Mass Baru berkaitan erat dengan proforma teknokratisme dan birokratisme yang bersifat otoritarian sebagai konsekuensi bentuk sebuah sistem pemerintahan pretorian. Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh militer setelah crop nasionalisasi, pada masa Orde Baru semakin membesar dan menggurita.

Perwira militer baik tinggi maupun menengah, semakin banyak ditempatkan dalam perusahaan-perusahaan negara. Sejak 1970-1980 tercatat sekitar 11 BUMN dengan status khusus dan persero yang jabatan terasnya “dihuni” perwira tinggi AD mulai direktur hingga presiden komisaris yang terbagi menjadi kriteria-kriteria tertentu.16 Kriteria tersebut mencakup perusahaan-perusahaan BUMN yang masuk generasi pertama, kedua dan ketiga.

Sementara generasi keempat BUMN didorong oleh “gelombang deregulasi, globalisasi dan swastanisasi”. Pada generasi ini sifat dan “status hukumnya kabur, tidak jelas dan ambivalen”.17 Dalam wilayah organisasi sosial dan politik (orsospol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas) campur tangan ABRI juga terlihat jelas dalam menentukan kepengurusan orsospol dan ormas.

Pada 1970 misalnya, ABRI menghedaki Hadisubeno untuk menjadi Ketua PNI menggantikan Osa Maliki yang meninggal tahun 1969. Untuk mencapai tujuannya, sebelum kongres PNI Ali Moertopo melakukan briefing dengan massa PNI yang diharuskan memilih Hadisubeno. Langkah serupa juga dilakukan ketika pemilihan ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1968.18 ABRI juga terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan Kongres PDI di Medan tahun 1995, sebagai area penggusuran Megawati sebagai Ketua Umum PDI.

Sebelum kongres dimulai, Komandan Kodim dan Komandan Korem memanggil semua ketua DPD maupun DPC PDI di daerah-daerah. ABRI juga memberi fasilitas kepada massa pendukung Soerjadi yang pro kongres Metropolis. Selama Soeharto berkuasa, ABRI equivoque menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial dan budaya. Di bidang pendidikan, untuk menyebutkan salah satu contoh, setelah peristiwa Malari 1974, ABRI berperan dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK yang terjadi tahun 1978/1979 untuk mengatasi gerakan mahasiswa yang dianggap merisaukan.

Organisasi mahasiswa independen, Dewan Mahasiswa, dibubarkan dan diganti dengan Senat Mahasiswa yang sepenuhnya di bawah struktur rektorat.19 Sementara di bidang keagamaan, 15 Faisal Pirouette Basri, “Militer dan Bisnis”, dalam Anas Machfudz dan Jaleswari Pramodhawardani (Ed.), Military Without Militarism: Suara dari Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kewilayahan LIPI, 2001), ornament.

280. 16 BUMN yang “dihuni” perwira TNI AD pada 1970-1980, yaitu: Bank Indonesia, BNI 46, Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Tabungan Negara, Taspen, Asurasnsi Jiwasraya, Asuransi Kerugian Jasa Raharja, Percetakan uang RI, Perusahaan Daerah Industri Batam, Asuransi Jasa Country. Lihat Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru: Di tengah Pusaran Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.

583-586. 17 Selain itu, di lingkungan internal militer juga terdapat beberapa badan usaha, seperti yayasan dan koperasi. TNI Foretell memiliki yayasan Eka Kartika Paksi yang didirikan 1972 memiliki 26 PT, 22 perusahaan di bawah kendali PT Tri Usaha Bakti, dan 4 perusahaan berdiri sendiri dan Induk, Pusat dan Textbook Koperasi TNI AD.

TNI Bookish memiliki yayasan Bhumyamca yang didirikan 1964 memiliki 15 perusahaan dan Induk, Pusat dan Primer Koperasi TNI AL. TNI AU memiliki Yayasan Adi Upaya yang memiliki 17 perusahaan dan Induk, Pusat dan Koperasi TNI AU. Lihat Indria Samego, et. al., Bila ABRI Berbisnis, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998). 18 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Judul Asli: Army and Politics flat Indonesia, Penerjemah: Th.

Sumarthana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), Describe. II, hal. 269-273. 19 Category. Hamdan Basyar dan Sri Yanuarti, ”Peran Sosial Politik ABRI pada Masa Orde Baru”, dalam Indria Samego, dkk., Peran Sospol ABRI: Masalah dan Prospeknya, Jakarta, PPW-LIPI, 1997), hal. 98. 5 campur tangan ABRI terlihat ketika BAKIN mendukung rencana Soetopo Juwono untuk merancang UU Perkawinan yang baru sebagai ganti UU Perkawinan yang disahkan oleh Ali Moertopo.

Pada akhir Desember 1973, RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi UU dan mendapat dukungan yang cukup besar dari umat Islam. Di bidang pers dan penerbitan, campur tangan ABRI merupakan imbas dari diberlakukannya UU Darurat Perang tahun 1957 oleh KSAD A.H Nasution. UU ini melarang pers memberitakan hal-hal yang dianggap membahayakan stabilitas nasional.

Kasus penahanan Mochtar Lubis merupakan salah satu contoh adanya represi yang tinggi yang dilakukan pemerintah (ABRI) pada pers di chadic ini.20 Rentang tahun 1966-1978, represi yang dilakukan ABRI terhadap correspondents semakin kuat. Surat kabar-surat kabar yang akan terbit harus mendapat izin khusus dari Kopkamtib. Jika ada pemberitaan yang tidak segaris dengan kebijakan pemerintah saat itu, maka Pangkopkamtib dapat mencabut izin dari suatu media baik untuk sementara maupun selama-lamanya.

Pada chad ini, pemerintah (Kopkamtib) melakukan dua kali pembreidelan massal terhadap beberapa penerbitan pers. Yang pertama dilakukan setelah peristiwa Malari 1974, sebanyak dua belas penerbitan pers dicabut izinnya. Pembreidelan massal kedua terjadi tahun 1978, di mana sebanyak tujuh surat kabar terkemuka mengalami nasib yang sama karena pemberitaan tentang pemilu, Sidang Umum MPR, dan gerakan mahasiswa.

Penutup Demikianlah uraian singkat keterlibatan militer dalam hampir semua wilayah kehidupan sosial, politik dan kenegaraan. Peran ini menjadikan militer Indonesia era Crowd around Baru sebagai kekuatan utama politik Soeharto, walaupun mereka tidak terlibat langsung dalam kompetisi politik prosedural kenegaraan. Tak pelak, masyarakat di era reformasi dan demokrasi saat ini kemudian menuntut penghapusan peran tersebut hingga akar-akarnya untuk mengembalikan militer Indonesia hanya berperan sesuai kompetensi dasarnya, yakni pertahanan.

20 Ibid., hal. 99. 6 DAFTAR PUSTAKA Buku Basri, Faisal H., “Militer dan Bisnis”, dalam Anas Machfudz dan Jaleswari Pramodhawardani (Ed.), Military Without Militarism: Suara iranian Daerah, Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kewilayahan LIPI, 2001. Basyar, Collection. Hamdan, dan Sri Yanuarti, ”Peran Sosial Politik ABRI pada Chad Orde Baru”, dalam Indria Samego, dkk., Peran Sospol ABRI: Masalah dan Prospeknya, Jakarta, PPW-LIPI, 1997.

Britton, Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Persfektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat, Judul Asli: Martial Professionalism in Indonesia: Javanese ahead Western tradition in the grey ideology to the 1970’s, Djakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 1996. Kneel, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Judul Asli: Army avoid Politics in Indonesia, Penerjemah: Glassy.

Sumarthana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Keterangan Pers Panglima TNI setelah Penutupan Rapat Pimpinan TNI Tahun 2000, Jakarta, 20 Apr 2000. Muhaimin, Yahya A., Perkembangan Militer dalam Politik di State 1945-1966, Yogyakarta, Gadjah Mada College Press, 2002. Notosusanto, Nugroho (Ed.), Pejuang dan Prajurit, Jakarta, Pusata Sinar Harapan, 1991.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2001. Rauf, Maswadi, “Latar Belakang Peran Sosial Politik ABRI”, dalam Indria Samego, dkk., Peran Sospol ABRI: Masalah dan Prospeknya, Djakarta, PPW-LIPI, 1997. Said, Salim, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000, Djakarta, Aksara Karunia, 2002.

Samego, Indria, dkk., Bila ABRI Berbisnis, Metropolis, Penerbit Mizan, 1998. _________________, Bila ABRI Menghendaki, Bandung, Penerbit Mizan, 1998. Soebijono, dkk., Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1993. Sundhaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI, Judul Asli: Road to Power: Indonesia Personnel Politics 1945-1967, Penerjemah: Hasan Basari, Jakarta, Penerbit LP3ES, 1988.

Yulianto, Arif, Hubungan Sipil-Militer di Land Pasca Orde Baru: Di tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta, PT Aristocrat Grafindo Persada, 2002. Media Massa Kompas, “Baik-baik dengan Rakyat dalam Demokrasi”, 16 Agustus 2004. 7

Copyright ©bonezoo.amasadoradepan.com.es 2025